Gorontalo, KABARungkaptuntas.ID –Pohuwato kembali bergolak. Aliansi Rakyat Anti Dominasi Oligarki (RADO) menegaskan sikapnya terhadap perusahaan Merdeka Copper Gold yang hingga kini belum menuntaskan persoalan talih asih bagi para pemilik lahan pada Jum’at (22/08). Lebih dari sekadar persoalan ganti rugi, RADO juga mengangkat isu krusial: ketertutupan perusahaan dalam persoalan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL).
“Kalau ada AMDAL, jangan ditutup-tutupi. Rakyat berhak tahu sejauh mana dampak yang ditimbulkan dan sejauh mana tanggung jawab perusahaan,” tegas Mahmudin Mahmud, Koordinator RADO.
Pernyataan ini menohok langsung jantung problematika relasi antara kapitalisme ekstraktif dengan rakyat kecil di daerah penghasil sumber daya. Pohuwato, yang dikenal sebagai Bumi Panua, kini kembali dihadapkan pada jurang konflik antara kepentingan korporasi dan hak-hak dasar warga.
RADO mengaku sudah mencoba jalur komunikasi formal. Namun, jawaban perusahaan cenderung mengulur waktu. Alasan bahwa manajemen masih berada di Gorontalo mengikuti Sertijab Kapolda, sementara informasi terkait sudah dibawa hingga ke Jakarta tanpa hasil konkret, dianggap sebagai bentuk pengabaian.
“Kami tunggu jawaban final. Jangan samakan rakyat yang dokumennya belum lengkap dengan yang sudah lengkap. Yang sah harus segera diselesaikan. Kalau hak rakyat terus diabaikan, maka jangan salahkan kalau insiden 21 September jilid II akan kembali terjadi,” ungkap Mahmudin dengan nada tegas penuh peringatan.
RADO menilai sikap perusahaan yang semena-mena ini bukan hanya bentuk ketidakadilan, melainkan juga penghinaan terhadap martabat rakyat Pohuwato. Hak yang mestinya diberikan justru digantung tanpa kepastian, sementara dampak lingkungan dan sosial dari operasi tambang semakin menghantui masyarakat.
Dalam pernyataannya, RADO mengajak masyarakat Pohuwato untuk tidak lagi tunduk pada penindasan. Mereka menegaskan siap mengepung dan menghentikan aktivitas perusahaan jika tuntutan talih asih dan transparansi AMDAL terus diabaikan.
Sejarah mencatat, 21 September menjadi hari kelam di Pohuwato. Kantor bupati dan fasilitas perusahaan tambang dilalap api akibat meluapnya emosi rakyat yang tanahnya belum diganti rugi. RADO mengingatkan, jika kesalahan serupa terus diulang, maka bara perlawanan itu bukan mustahil akan kembali membesar.
Narasi ini sesungguhnya menggambarkan benturan klasik: rakyat yang berjuang mempertahankan hak atas tanah dan hidup, berhadapan dengan kepentingan modal yang didukung kekuasaan. Jika perusahaan terus menutup mata, maka insiden 21 September bukan sekadar sejarah, melainkan peringatan keras bahwa rakyat tak akan diam menghadapi ketidakadilan.
Tim-Redaksi