Gorontalo, KABARungkaptuntas.id – Suara-suara kekhawatiran mulai menggema dari Dusun Ternate, Desa Popaya, Kecamatan Dengilo, Kabupaten Pohuwato. Warga setempat mengeluh lantaran gedung TK/PAUD Mawar Lestari, satu-satunya lembaga pendidikan anak usia dini di wilayah itu, kini terancam rusak bahkan roboh. Ancaman tersebut bukan berasal dari usia bangunan atau faktor alam, melainkan dari aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) yang kian brutal mendekati sekolah.
Lubang-lubang tambang kini mengepung titik belakang sekolah dalam jarak hanya beberapa meter. Struktur tanah mulai terganggu, permukaan bergeser, dan kekhawatiran longsor atau amblas menjadi nyata. Dalam kondisi ini, keselamatan anak-anak dan guru bukan lagi sebuah kemungkinan, tetapi potensi ancaman harian yang disaksikan langsung oleh warga sekitar.
“Kami sebagai orang tua sangat khawatir, anak-anak kami sekolah di tempat yang dikepung lubang tambang. Apa pemerintah tidak melihat?” keluh seorang warga Dusun Ternate, Jum’at (18/07).
Fakta ini menimbulkan pertanyaan mendasar: di mana peran pemerintah? Baik di tingkat desa, kecamatan, hingga Dinas Pendidikan Kabupaten Pohuwato, belum tampak langkah nyata untuk merespons kondisi ini. Padahal, sekolah sebagai ruang publik dan simbol masa depan, seharusnya menjadi prioritas utama dalam perlindungan kebijakan dan pengawasan wilayah.
Lebih ironis lagi, pembiaran terhadap PETI nyaris menyentuh zona vital lembaga pendidikan menunjukkan potret kebijakan yang tumpul pada sektor pendidikan. Dalam konteks ini, seolah hasil tambang—meski ilegal—dianggap lebih penting daripada keselamatan dan pendidikan anak-anak usia dini.
Aktivitas tambang tanpa izin jelas melanggar sejumlah regulasi nasional. Secara yuridis, tindakan tersebut merupakan tindak pidana sebagaimana tertuang dalam:
Pasal 158 Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba):
“Setiap orang yang melakukan usaha pertambangan tanpa izin dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.”
Pasal 69 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup:
Melarang setiap aktivitas yang merusak lingkungan hidup tanpa izin dan tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan.
Pasal 54 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak:
Mengatur kewajiban negara untuk melindungi anak-anak dari ancaman di sekitar lingkungan pendidikan.
Selain itu, dalam perspektif tata ruang dan rencana wilayah, kehadiran tambang yang nyaris merapat ke fasilitas publik tanpa buffer zone atau zona penyangga merupakan pelanggaran prinsip kehati-hatian dan menjadi indikator lemahnya pengawasan pemerintah daerah.
Pembiaran terhadap situasi ini bisa berujung pada konsekuensi serius, baik secara sosial maupun hukum:
1. Risiko Kecelakaan Massal – Jika bangunan amblas akibat longsor dari tambang, maka pemerintah dapat digugat atas kelalaian dalam fungsi perlindungan publik;
2. Trauma Anak dan Guru – Ketakutan yang terus-menerus dalam belajar menciptakan dampak psikologis jangka panjang bagi anak-anak;
3. Kehilangan Akses Pendidikan – Jika bangunan rusak, maka satu-satunya PAUD di dusun itu akan hilang, memutus akses pendidikan usia dini;
4. Gugatan Konstitusional – Warga dapat menempuh jalur hukum melalui class action terhadap pihak yang membiarkan pelanggaran ini, dengan dalil pelanggaran hak atas pendidikan dan lingkungan hidup yang sehat.
Situasi ini menempatkan pemerintah daerah pada titik kritis untuk menentukan keberpihakannya: apakah pada masa depan anak-anak atau pada hasil tambang ilegal?
Jika tambang dibiarkan mendekati sekolah, itu artinya negara sedang secara sadar menukar masa depan anak-anak dengan keuntungan sesaat dari pertambangan ilegal. Ini bukan lagi soal pengawasan, melainkan soal integritas pemerintahan daerah dan moralitas kebijakan publik.
Diperlukan langkah konkret dan segera:
- Pemerintah Kabupaten Pohuwato harus melakukan sidak lapangan dan mengevakuasi lokasi tambang ilegal di sekitar sekolah;
- Dinas Pendidikan wajib mengeluarkan peringatan resmi dan menuntut zona aman minimal 500 meter dari lokasi pendidikan;
- Balai Gakkum KLHK dan Aparat Penegak Hukum harus menindak pelaku PETI sesuai ketentuan pidana lingkungan dan pertambangan;
- Organisasi masyarakat sipil dan media didorong untuk mengawal kasus ini hingga ada penindakan nyata dan berkelanjutan.
Kasus PAUD Mawar Lestari adalah cermin kelalaian struktural yang tidak bisa dibiarkan terus berlangsung. Jika negara diam dan abai terhadap ancaman nyata terhadap pendidikan dan keselamatan anak, maka masyarakatlah yang harus bersuara. Sebab masa depan tidak bisa digali bersama lubang tambang, dan anak-anak tidak boleh dikorbankan oleh diamnya kekuasaan.
“Negara yang mengabaikan pendidikan usia dini sedang menanam kehancuran jangka panjangnya sendiri.”
Tim-Redaksi