Gorontalo, KABARungkaptuntas.id – Sorotan tajam kembali mengarah ke wilayah Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo, seiring dengan mencuatnya kembali praktik Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di kawasan Cagar Alam Tomula, Sabtu 19 Juli 2025. Aktivitas tambang ilegal ini tidak hanya mencederai komitmen negara dalam menjaga lingkungan hidup, tetapi juga mencoreng kewibawaan hukum yang seolah tumpul ke atas namun tajam ke bawah.
Pada Senin (14/07), tim awak media mengkonfirmasi langsung temuan aktivitas ilegal di kawasan Tomula. Sejumlah alat berat terlihat leluasa mengeruk tanah dan material emas dari jantung kawasan konservasi. Tiga buah tong rendaman besar tampak aktif digunakan dalam proses pelindian, yang diduga kuat melibatkan zat kimia berbahaya jenis sianida.
Nama Daeng Edi, pria asal Makassar, mencuat sebagai otak utama di balik operasi haram ini. Ia disebut-sebut sebagai pemilik tong rendaman di lokasi dan pengendali aktivitas tambang yang kini telah mengoyak ekosistem Tomula. Keterlibatannya bukan hanya sebagai operator teknis, namun diduga merupakan pengendali finansial dan logistik dari jaringan PETI yang menjalar lintas wilayah.
“Tong-tong itu milik Daeng Edi. Dia yang biayai semua alat dan orang kerja di dalam,” ungkap salah satu warga setempat yang enggan disebutkan namanya karena alasan keamanan.
Kehadiran sianida sebagai bahan pelarut emas menjadi ancaman serius terhadap lingkungan. Zat ini dapat mencemari tanah, sumur warga, hingga sungai-sungai kecil yang menjadi sumber kehidupan masyarakat sekitar. Jika tidak ada pengelolaan limbah yang sesuai standar, maka bencana ekologis hanya tinggal menunggu waktu.
Padahal, secara hukum, aktivitas ini merupakan kejahatan lingkungan berat. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup secara tegas menyatakan bahwa pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan tanpa izin dapat dihukum penjara maksimal 10 tahun dan denda Rp10 miliar (Pasal 98). Selain itu, karena aktivitas berada di kawasan konservasi, maka berlaku pula UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi SDA Hayati, dengan ancaman pidana maksimal 10 tahun dan denda Rp200 juta (Pasal 40 ayat 2).
Namun yang lebih mencengangkan, dugaan keterlibatan oknum aparat dalam membekingi aktivitas ini mulai berembus kuat di tengah masyarakat.
“Tidak mungkin bisa jalan alat berat dan tong sebanyak itu tanpa restu pihak-pihak tertentu. Pasti ada beking,” kata seorang narasumber setempat yang menolak disebutkan identitasnya.
Hal ini memperkuat dugaan bahwa jaringan PETI Tomula tidak berdiri sendiri, melainkan tumbuh subur dalam lingkungan yang permisif dan dilindungi oleh kekuasaan tertentu. Pemerintah Daerah, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), Dinas Lingkungan Hidup, serta aparat kepolisian hingga kini terkesan bungkam dan tidak bertindak. Ketiadaan langkah represif menimbulkan pertanyaan serius: Ada apa dengan penegakan hukum di Tomula?
Jika aktivitas seperti ini terus dibiarkan, maka kita tengah menyaksikan pembiaran sistemik terhadap perusakan cagar alam oleh aktor eksternal yang membawa modal, teknologi, dan bahan kimia beracun. Negara pun dipertanyakan kedaulatannya: apakah masih punya kendali atas wilayah konservasi, atau telah menyerah kepada para penambang rakus?
Lebih dari sekadar pelanggaran administratif, ini adalah kejahatan ekologis. Setiap hari tambang itu beroperasi, ekosistem Tomula makin tergerus. Flora dan fauna khas, termasuk spesies endemik, terancam punah. Tanah menjadi rusak, sumber air terkontaminasi, dan masyarakat adat kehilangan wilayah kelola.
Daeng Edi harus ditangkap. Negara tidak boleh tunduk pada pemodal yang menginjak-injak hukum dengan tameng koneksi dan kekuasaan. Tidak ada alasan pembiaran. Bila hukum tidak berlaku pada yang kuat, maka keadilan hanya akan menjadi sandiwara untuk yang lemah.
Kini bola panas ada di tangan Kapolda Gorontalo, Kepala BKSDA, dan Gubernur, serta instansi terkait lainnya. Apakah mereka akan tetap diam, atau menunjukkan bahwa hukum masih hidup dan berpihak pada rakyat dan alam?
Jika mereka gagal bertindak, maka sejarah akan mencatat: Tomula bukan hanya hancur oleh alat berat, tetapi juga oleh kelumpuhan negara.
Tim – Redaksi