Gorontalo, KABARungkaptuntas.id — Gelombang penolakan dari masyarakat sipil kembali menggelegar di Kabupaten Pohuwato. Aliansi Koalisi Sipil Bersatu yang terdiri dari organisasi kemahasiswaan dan pemuda — PMII, PPMB, dan Formalintang — melakukan aksi massa di sejumlah titik strategis: Kantor KUD Darma Tani, Gedung DPRD Kabupaten, dan Kantor Bupati Pohuwato, pada Rabu (02/07). Aksi ini bukan sekadar protes biasa, melainkan wujud perlawanan terorganisir terhadap praktik perampasan ruang hidup, relokasi paksa warga, ekspansi tambang, dan pembiaran kehancuran ekologis oleh negara melalui tangan korporasi.
Aksi ini diawali dari Kantor KUD Darma Tani, yang menjadi simbol awal keterlibatan institusi lokal dalam konflik pertambangan. Di hadapan Sekretaris KUD, Usman Polumuduyo, massa menuntut keterbukaan penuh atas dokumen kerja sama antara KUD dan PT. PEG, serta proses pengalihan Izin Usaha Pertambangan (IUP Operasi Produksi) ke PT. PETS yang diduga sarat manipulasi dan tanpa partisipasi publik. Mereka mengecam segala bentuk negosiasi tertutup yang mengorbankan masyarakat lingkar tambang, khususnya di Desa Hulawa, yang kini tengah terancam relokasi secara paksa.
Massa juga mengecam keras rencana perluasan wilayah konsesi PT. Gorontalo Sejahtera Mining (GSM), yang disebut-sebut akan mencaplok sejumlah Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). Perluasan ini dinilai sebagai bentuk kolonialisme ekonomi yang secara sistematis akan mematikan ekonomi warga lokal dan menyingkirkan hak rakyat atas tanahnya sendiri. Dalam narasi yang lebih luas, Koalisi menyebut bahwa kebijakan ini merupakan cermin keberpihakan negara pada kepentingan oligarki tambang, bukan pada keselamatan rakyat.
Lebih jauh, massa mendesak pemerintah untuk segera mencabut izin operasi PT. BTL dan PT. IGL yang terbukti melakukan pembabatan hutan kayu alam tanpa mengikuti aturan batas minimal diameter pohon sesuai Permen LHK No. 7 Tahun 2017. Aktivitas dua perusahaan ini tidak hanya merusak kawasan hutan secara brutal, tetapi juga mengancam keseimbangan ekologis dan memperparah krisis iklim di kawasan pesisir dan pegunungan Pohuwato.
Koalisi juga menyoroti pelanggaran serius yang dilakukan oleh pemegang Hak Guna Usaha (HGU), yakni PT. IGL, PT. BTL, dan PT. BJA, yang hingga kini belum menjalankan kewajiban legal untuk memfasilitasi kebun masyarakat sebesar 20% dari total luas HGU yang mereka kelola. Kegagalan ini menunjukkan betapa minimnya pengawasan negara dan lemahnya komitmen korporasi terhadap tanggung jawab sosial sebagaimana diamanatkan dalam berbagai regulasi pertanahan dan perkebunan.
Puncak kecaman Koalisi ditujukan pada rencana pengurusan izin pemanfaatan hutan untuk Hutan Tanaman Energi (HTE) oleh enam perusahaan besar: PT. HC, PT. KLI1, PT. Ageng Joyo, PT. KLI2, PT. NWU, dan PT. Sorbu Agro Energi — dengan total area mencapai hampir 200.000 hektare. Rencana ini dianggap sebagai ancaman besar terhadap hutan adat, tanah garapan masyarakat, serta tatanan hidup desa-desa agraris di Pohuwato. Jika diterbitkan, izin-izin tersebut akan membuka jalan bagi penghancuran sistematis atas wilayah adat dan lingkungan hidup masyarakat sipil yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Negara Harus Hadir untuk Rakyat, Bukan untuk Korporasi
Dalam pernyataan sikapnya, Koalisi Sipil Bersatu menyebut bahwa pemerintah daerah dan DPRD Kabupaten Pohuwato tidak boleh lagi bersikap ambigu atau kompromistis terhadap berbagai pelanggaran yang dilakukan korporasi. Aksi diam dan pembiaran terhadap praktik relokasi paksa, perampasan tanah, serta kerusakan ekologis adalah bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi dan rakyat sendiri. Koalisi menuntut agar seluruh izin yang bermasalah ditinjau ulang secara menyeluruh, dan proses-proses perizinan baru segera dihentikan sebelum melalui audit ekologis, sosial, dan hukum secara terbuka.
Kami menyerukan agar setiap kebijakan yang menyangkut sumber daya alam harus dijalankan berdasarkan prinsip partisipasi publik, transparansi, dan keadilan ekologis. Pemerintah harus menghentikan praktik pembangunan berbasis ekstraksi yang mengorbankan manusia, demi investasi yang hanya menguntungkan segelintir elite.
Aksi hari ini adalah permulaan. Apabila pemerintah dan DPRD Kabupaten Pohuwato tidak segera mengambil langkah konkret, maka gelombang aksi akan terus berlanjut. Kami tegaskan, rakyat bukan objek pembangunan, melainkan subjek utama yang berhak atas tanah, udara, air, dan masa depan yang lestari.
Rakyat bersatu, tak bisa dikalahkan! Tanah adalah kehidupan, bukan komoditas!
TIM-Redaksi