Gorontalo, KABARungkaptuntas.id –Pengakuan mengejutkan datang dari Meyke Maliu, anak dari mendiang Ka Uwa—salah satu penambang rakyat yang meninggal dalam aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di kawasan Balayo, Kecamatan Patilanggio Kabupaten Pohuwato, Sabtu (19/07). Dalam keterangannya, Meyke menyampaikan bahwa praktik pungutan bulanan yang disebut “atensi” telah menjadi pola sistemik di lapangan, dan menunjuk sosok bernama Ramli sebagai aktor sentral yang bertanggung jawab atas keberlangsungan tambang ilegal tersebut.
“Torang tiap bulan bayar atensi, ada pak Ramli yang tanggung jawab di lokasi PETI Balayo,” ungkap Meyke kepada awak media.
“Oh iya maaf pak, ada pak Ramli yang ba ini torang pengusaha di Balayo,” sambungnya, mempertegas eksistensi figur tersebut sebagai aktor dominan di balik aktivitas tambang tanpa izin.
Pengakuan ini bukan sekadar informasi, melainkan peringatan keras terhadap negara yang tampak pasif dalam mengawasi sirkulasi ekonomi ilegal di wilayah tambang. Frasa “atensi” yang digunakan seolah memoles praktik pungutan liar menjadi seolah sah, padahal tidak memiliki dasar hukum apa pun.
Dalam perspektif hukum, pungutan yang dilakukan tanpa otorisasi resmi, apalagi di atas aktivitas ilegal, termasuk kategori pungutan liar (pungli) sebagaimana diatur dalam:
UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), khususnya Pasal 12 e, yang mengatur larangan memaksa seseorang memberikan sesuatu dengan alasan jabatan atau kuasa.
Pasal 158 UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020, menyatakan bahwa setiap kegiatan penambangan tanpa izin resmi merupakan tindak pidana dengan ancaman pidana 5 tahun penjara dan denda hingga Rp100 miliar.
Jika Ramli berperan sebagai penanggung jawab di lapangan, menerima pungutan rutin dari para penambang, maka secara hukum ia dapat dikualifikasikan sebagai pelaku turut serta atau otak pengendali jaringan ilegal, berdasarkan Pasal 55 KUHP.
Fakta bahwa masyarakat sekitar tidak pernah menerima kontribusi sosial, bahkan fasilitas dasar pun tak tersentuh, menambah muram wajah tambang ilegal di Balayo. “Atensi” yang dikutip tiap bulan seharusnya, dalam logika etika sosial sekalipun, setidaknya bermuara pada kompensasi kolektif bagi warga terdampak. Namun realitas berkata sebaliknya: nihil kontribusi, nihil tanggung jawab.
Fenomena ini mencerminkan apa yang disebut dalam teori sosiologi hukum sebagai “penghisapan vertikal”—suatu relasi eksploitatif di mana kekuasaan informal menghisap hasil dari bawah tanpa distribusi balik. Jika ini dibiarkan, Balayo bukan lagi sekadar wilayah tambang ilegal, tetapi medan kuasa para predator ekonomi gelap.
Jika aparat penegak hukum masih punya niat menjaga konstitusi dan martabat institusi, maka pengakuan Meyke Maliu harus menjadi pintu masuk penyelidikan serius. Pemeriksaan terhadap aliran dana, posisi Ramli dalam struktur lapangan, serta kemungkinan keterlibatan oknum pejabat wajib dilakukan segera. Apalagi jika ada unsur pemerasan, gratifikasi, atau penyalahgunaan wewenang.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian Daerah Gorontalo, dan Kejaksaan wajib menyentuh akar masalah—bukan hanya permukaannya. Jangan sampai negara hanya berani menindak pelaku kecil dan menutup mata terhadap aktor utama yang mengendalikan operasi lapangan.
Kematian Ka Uwa bukan hanya tragedi keluarga, melainkan tragedi sistemik. Ia meninggal dalam ruang gelap pertambangan ilegal yang diselimuti pembiaran negara. Pengakuan anaknya hari ini membuka pintu kecil menuju cahaya kebenaran. Tapi apakah kita berani masuk dan membongkar yang gelap?
Jika Ramli benar-benar membekingi PETI Balayo dan menerima atensi dari rakyat kecil yang hidup dalam kesempitan, maka diamnya negara adalah bentuk pengkhianatan.
Redaksi KABARungkaptuntas.id akan terus menelusuri dugaan pungli dan bekingan tambang ilegal di Balayo. Jika ada pihak yang merasa dirugikan atau ingin memberikan hak jawab, kami membuka ruang sesuai prinsip jurnalisme berimbang.
Tim-Redaksi