Gorontalo, KABARungkaptuntas.id – Praktik Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) kembali mencederai kawasan konservasi di Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. Oleh Awak media saat terkonfirmasi langsung oleh narasumber, pada Senin (14/07). Aktivitas tambang ilegal terpantau berlangsung di wilayah Tomula, yang diketahui sebagai bagian dari Cagar Alam, dengan penggunaan alat berat untuk mengeruk material tambang ke arah tiga buah tong rendaman besar yang diduga kuat menggunakan zat kimia berbahaya jenis sianida.
Nama Daeng Edi, seorang pria asal Makassar, mencuat sebagai pemilik tong rendaman di lokasi tersebut. Ia diduga menjadi otak utama operasi tambang ilegal ini, dengan mengendalikan proses ekstraksi emas melalui metode pelindian kimia di tengah kawasan konservasi.
Tong rendaman yang digunakan dalam proses pengolahan emas ini menyimpan potensi kerusakan ekologis yang sangat besar. Sianida, sebagai bahan kimia pelarut logam mulia, dapat mencemari tanah, sumber air, dan membahayakan kehidupan satwa liar maupun manusia jika digunakan tanpa pengelolaan limbah yang sesuai standar lingkungan.
Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, setiap kegiatan yang menyebabkan pencemaran atau perusakan lingkungan tanpa izin dapat dikenakan pidana penjara maksimal 10 tahun dan denda hingga Rp10 miliar (Pasal 98). Selain itu, karena lokasi berada di dalam kawasan konservasi, maka pelanggaran ini juga melanggar UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dengan ancaman pidana maksimal 10 tahun dan denda Rp200 juta (Pasal 40 ayat 2).
Penggunaan alat berat di kawasan suaka alam juga merupakan pelanggaran terhadap Peraturan Menteri LHK No. P.76/MENLHK-SETJEN/2015, yang secara eksplisit melarang aktivitas eksploitasi mineral di kawasan konservasi. Kehadiran eksavator di lokasi Tomula hanya akan mempercepat degradasi lingkungan dan memperbesar risiko sedimentasi serta longsor.
Fakta bahwa kegiatan ilegal ini dikoordinir oleh pelaku lintas daerah seperti Daeng Edi menunjukkan adanya jaringan terorganisir yang memanfaatkan lemahnya pengawasan negara. Ironisnya, hingga berita ini diturunkan, belum tampak adanya tindakan represif dari pihak BKSDA, Dinas Lingkungan Hidup, maupun kepolisian setempat untuk menghentikan atau menertibkan kegiatan tersebut.
Jika dibiarkan, kasus Tomula bukan hanya akan menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum lingkungan, tetapi juga menciptakan ruang pembiaran terhadap perusak kawasan konservasi oleh aktor eksternal yang membawa teknologi perusak dan kimia berbahaya ke jantung ekosistem lokal.
Pemerintah daerah dan pusat kini dihadapkan pada pertanyaan serius: Apakah negara masih berdaulat di atas kawasan konservasi yang terus dijarah secara terang-terangan? Ataukah hukum hanya berlaku bagi masyarakat kecil sementara para pemilik modal seperti Daeng Edi dibiarkan mengukir jejak kehancuran tanpa konsekuensi?
Tim-Redaksi