Gorontalo, kabarungkaptuntas.id | Aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Desa Popaya, Kecamatan Dengilo Senin, 26/05/2025, bukan lagi sekadar kejahatan lingkungan, melainkan pelecehan terang-terangan terhadap hukum, negara, dan rakyat. Penggalian dilakukan secara terbuka, berjarak hanya beberapa meter dari rumah-rumah komunal bantuan pemerintah, seolah-olah hukum tak lagi punya taring dan kekuasaan bisa membeli kebal hukum.
Diduga kuat, kegiatan ini dikendalikan oleh aktor-aktor berlatar belakang kekuasaan dan pengaruh publik. Lahan tambang disebut milik pribadi yang diduga atas nama Ka Nono, sementara dugaan inisial IS, seorang anggota legislatif aktif dapil Paguat-Dengilo, ditengarai sebagai pemodal utama. Dua nama lain yang disebut sebagai pengawas lapangan—Suharto Hasan (mantan Kepala Desa) dan Roni Sakula (Eks Kepala Dusun)—menunjukkan bahwa kekuatan lokal menyatu membentuk sindikat tambang ilegal.
Kejahatan ini tidak terjadi di tempat tersembunyi. Dilakukan di siang bolong bahkan informasinya malam hari, di tepi jalan umum dan tepat di samping perumahan komunal masyarakat yang dibangun dengan anggaran negara. Tim media memantau pada Senin (26/05), satu unit alat berat aktif menggali tanah, menciptakan suara dentuman dan getaran yang mengganggu warga sekitar. Tak ada garis polisi. Tak ada penghentian. Hanya ada pembiaran.
Kegiatan ini bukan sekadar ilegal, tetapi melanggar banyak regulasi negara. Antara lain:
- UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 69 melarang tindakan yang merusak lingkungan tanpa izin.
- UU Minerba No. 3 Tahun 2020, yang mewajibkan setiap aktivitas tambang memiliki izin usaha pertambangan.
- Regulasi Kementerian PUPR terkait pemanfaatan perumahan bantuan negara, yang melarang alih fungsi atau aktivitas komersil yang berpotensi membahayakan masyarakat penerima manfaat.
Kawasan rumah komunal dibangun sebagai bentuk kehadiran negara dalam menjamin tempat tinggal layak bagi masyarakat miskin. Namun kini, rumah-rumah itu berdiri di tengah zona eksploitasi tambang ilegal, mengancam keselamatan fisik dan mental penghuninya.
“Anak-anak kami trauma dengan suara mesin berat, kami tidak bisa tidur. Kalau hujan turun, galian jadi kubangan dan itu sumber nyamuk malaria. Apakah harus ada korban dulu baru dihentikan?” ucap salah satu warga yang enggan disebutkan namanya.
Pertanyaannya bukan lagi siapa pelakunya, melainkan siapa yang melindungi mereka? Bagaimana mungkin aktivitas dengan alat berat di tengah pemukiman tidak diketahui oleh aparat? Pembiaran ini menjadi indikasi bahwa bukan hanya hukum yang lumpuh, tapi juga pengawasan negara yang dikooptasi oleh kepentingan oligarki lokal.
Pemerintah daerah, Kepolisian, dan instansi lingkungan hidup wajib bertindak cepat dan tegas. Tidak cukup dengan klarifikasi. Dibutuhkan penyegelan lokasi, pemeriksaan terhadap aktor terduga, dan pemulihan lingkungan, serta jaminan keamanan bagi warga penerima bantuan perumahan.
Jika negara tak segera hadir, maka publik berhak bertanya:
Apakah hukum hanya tajam ke bawah, dan tumpul kepada mereka yang duduk di kursi kekuasaan?
Tim-Red